Stefi Rengkuan
Hari ini Kamis 3 Juni 2021 di Dojo DLight Mandala, Jakarta, diadakan penyerahan sertifikat dan sabuk kenaikan tingkat bagi mereka yang sudah mengikuti ujian dan lulus. Seperti biasanya upacara sederhana penyerahan sertifikat dan sabuk baru kenaikan tingkat itu diadakan sebelum latihan rutin dilaksanakan.
Setelah diserahkan, sabuk lama mesti ditanggalkan dan sabuk baru mesti langsung dikenakan sehingga untuk pertama kalinya mereka mengenakan sabuk baru itu mengikuti kegiatan latihan dalam Dojo, yang berawal dengan mokuso (meditasi, mata tertutup dsn hening diri terpusat), proses latihan, dan diakhiri dengan mokuso lagi. Praksis latihan di Dojo ini bisa disebut model mini dari hidup dan ritual seni beladiri karate ala Kyokushin (kebenaran tertinggi, melampaui batas). Maka diharapkan sang karateka bisa memaknai secara baru, setingkat lebih tinggi lagi, apa artinya menjalani hidup sebagai seorang Kyokushin di Dojo.
Ujian kenaikan tingkat sudah diadakan sebelumnya, 27 Mei 2021, di Dojo DLight. Ujian dipimpin oleh pelatih Dojo, Sensei Hadi (Sandan/sabuk hitam strep-3) dan Sensei Monang (Sandan) dan Senpai Irwan (Nidan/strep-2). Ketiganya termasuk yang memulai berlatih sejak masa muda, yakni sejak sekolah menengah pertama. Jadi, sudah puluhan tahun mereka menekuni seni beladiri dengan metode full contact ini.
Pastilah sudah banyak latihan yang mereka jalani, dan mereka tentu pernah membaca atau mendengar petuah ini: Berlatihlah dengan tubuhmu sampai sel-sel tubuh mengingat hingga semua gerakan menjadi refleks, bergerak cepat tepat pada saat diperlukan dalam situasi apa saja. Ini salah satu rahasia dalam budo bahwa sang karateka mesti melatih berulang sebuah teknik sebanyak 3000 kali, sampai menyatu dalam diri menjadi miliknya sendiri. (Lihat JB Sujoto, Teknik Oyama Karate, Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2016, hlm. 304, ).
Wejangan mendiang Sosai Oyama ini diungkapkan dalam konteks orang yang ekstrim dan keliru menganggap pekerjaan “kepala” lebih tinggi nilai daripada pekerjaan “tangan”. Padahal keduanya sama-sama penting. Ungkapan berlatihlah dengan mengingat-ingat sesuatu dengan menggunakan tubuh, bukan dengan otak belaka ini mesti dipahami dalam konteks dan tujuannya.
Di masa pandemi Covid-19 yang sudah lebih dari satu tahun menghantui pikiran dan tubuh manusia sejagad, ungkapan Sosai ini menarik direfleksikan. Dalam masa new normal atau masa pembatasan, kita bertanya apa artinya latihan rutin terjadwal, apa artinya latihan di Dojo atau dalam Gashuku di suatu tempat terbuka. Kalau tetap ada latihan bersama tapi dengan prokes ketat (Lihat Surat Edaran PP WKOSI tentang protokol kesehatan saat latihan di Dojo, 2020). Panduan latihan dengan aturan “tak boleh ini itu, harus ini itu” memang membuat latihan menjadi tidak normal. Konsekuensinya latihan menjadi turun frekuensi dan bahkan kualitasnya.
Dalam konteks pandemi ini, tentu saja latihan rutin secara normal dalam kebersamaan fisik khususnya bisa menjadi sesuatu yg ekstrim. Tapi kiranya tetap tidak mengurangi makna dari ungkapan “berlatihlah dengan tubuhmu”. Malah nasihat ini makin menantang, yakni bagaimana itu dilakukan secara sendiri-sendiri, kalau bersama tak dimungkinkan.
Di sisi lain barangkali aspek “berlatihlah dengan kepalamu” bisa mendapat pemaknaan yang lebih aktual di masa pandemi ini. Pada saat Sosai menyatakan berlatihlah dengan tubuhmu, dalam konteksnya tertentu, maka berarti juga bilamana pada konteks lain bisa menunjuk pada sisi lain, yakni berlatihlah atau gunakan “kepalamu”. Substansinya tidak ada yang salah dengan memakai pikiran itu, karena mind and body, pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan! Dalam konteks ketakutan dan sakit penyakit serta kematian massal mengancam, saat ada pembatasan sejaligus arahan untuk hidup ala new normal, maka akal budi menuntun manusia untuk lebih berpikir positif dan realistis bahkan progresif namun bijak.
Bagaimana masing2 individu karateka menemukan cara-cara kreatif dan tepat supaya latihan menjadi lebih efisien dan efektif secara individual maupun komunal tertentu. Paling tidak dengan berpikir positif, individu akan lebih mengembangkan semangat dan tindakan yang selaras dan seimbang, antara mind-body, otak dan tubuh, bahkan roh.
Dengan bantuan neuro science terbaru barangkali latihan dengan kepala bisa dimaknai sebagai kemampuan memodel apa yang dicapai Sosai Oyama, bahkan oleh Shihan dan Sensei kita terkait teknik maupun semangat dalam berlatih di jalan karate budo ini. Termasuk memodel diri sendiri dalam pencapaian maksimal dan berhasil. Struktur pengalaman yang berkesan itu bisa menjadi jangkar berpijak untuk bertahan dan menyikapi situasi aktual yang serupa. (Lihat JB Sujoto, Suara Shihan: Motivasi dan Inspirasi, 2021, Yogyakarta, Pohon Cahaya, hlm. 4, 92)
Masa pandemi ini menjadi momen untuk lebih tekun berlatih secara pribadi di tempat kediaman masing2, karena memang latihan normal sebagaimana di Dojo mengalami pembatasan demi menerapkan protokol kesehatan yang ketat, 3 M dan 2 M.
Pengalaman sepanjang tahun 2020, di mana ada pembatasan mulai berlaku sejak bulan Maret, maka Dojo menziasati diadakan latihan bersama di tempat masing2, antara pelatih dan member bertatap muka, hanya dengan melalui monitor hp atau laptop. Melalui aplikasi Zoom misalnya. Alhasil, ujian-ujian kenaikan sabuk juga mengalami penundaan karena dianggap kurang memadainya latihan yang sebenarnya. Maka sepanjang tahun itu, hanya satu kali ujian, yakni pada bulan November. Seiring pada akhir tahun itu harapan mulai cerah karena vaksin mulai diujicoba, dan terutama cara hidup dengan protokol kesehatan mulai menjadi kebiasaan normal di tengah masyarakat.
Di awal Januari 2021, program vaksinasi mulai diadakan, walau masih bertahap dengan prioritas umur dan kelompok tertentu. Namun, latihan-latihan sudah lebih mendekati normal, walau tetap dengan prokes yang ketat. Maka pada akhir Mei ini diadakanlah ujian kenaikan tingkat di Dojo, yang diikuti 7 peserta. Semuanya dinyatakan lulus untuk naik ke tingkat lebih tinggi.
Seperti biasanya, sebelum ujian praktik, dibuat ujian teori secara tertulis. Menarik bahwa tak seperti biasanya, kali ini salah satu materi adalah peserta diminta menggambarkan dalam sketsa beberapa jenis gerakan. Bukan hanya mampu menyebut nama dalam bahasa asal, bahasa Jepang, tapi bisa memahami bentuk posisi dan gerakan tersebut. Ujian teori ini tetaplah penting terutama nanti sebagai kader yang akan menjadi pelatih, tapi secara umum ujian teori menegaskan pentingnya wawasan dan penguasaan secara konseptual tentang teknik karate, yang terkait erat dengan proses menjadi karateka dan budo, bagaikan double helix dari DNA Kyokushin Karate sebagaimana yang diyakini, diajarkan dan dihidupi oleh Sosai Masutasu Oyama, sang pendiri.
Tapi menjadi karateka budo ala Kyokushin memang tak lepas dari sumber dan puncaknya dalam praksis latihan fisik badaniah sampai ke sel-sel pembentuk tubuh itu sendiri. Dalam dan melalui badan yg terlatih itulah diharapkan terdapatlah mental dan spirit yang sehat dan kuat. Karena itu ujian gerakan dasar dan gerakan melangkah, daya tahan dan kelenturan, dan terakhir kumite atau penerapan teknik dan semangat bertarung itu menjadi penentu lulus tidaknya sang karateka.
Diharapkan mereka yang lulus bisa mengukur tingkat kemampuan mereka sendiri, dan merasa cukup layak dan pantas mengenakan sabuk lebih tinggi. Karena sabuk hanyalah konsekuensi logis dari rangkaian proses yg sudah dilalui dengan baik dan benar. Selamat atas kenaikan tingkat.
Osu.